Jakarta – Teknologi kecerdasan buatan, khususnya generative AI, semakin banyak diterapkan, tidak hanya di kalangan remaja dan orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Ini menimbulkan perhatian terkait pengaruhnya terhadap kelompok usia yang lebih muda, yang dikenal sebagai GenAI. Dalam penggunaan sehari-hari, alat ini dapat dimanfaatkan untuk menginspirasi ide, mempercepat riset, hingga sebagai teman diskusi.
Sebuah penelitian dari Alan Turing Institute berjudul “Understanding the Impacts of Generative AI Use on Children” menemukan bahwa penggunaan GenAI di kalangan anak-anak terus meningkat. Dari survei yang melibatkan 780 anak berusia 8 hingga 12 tahun di Inggris, sekitar 22 persen mengaku telah menggunakan alat AI generatif, dengan mayoritas (72 persen) menggunakan perangkat tersebut setidaknya sebulan sekali. Alat yang paling banyak digunakan adalah ChatGPT, diikuti oleh Gemini dan My AI dari Snapchat.
Meskipun teknologi ini menawarkan manfaat, ada juga risiko signifikan. Misalnya, penggunaan GenAI dapat mengakibatkan misinformasi, di mana anak-anak, yang memiliki kapasitas kognitif yang masih berkembang, menjadi lebih rentan. Terdapat juga kasus di mana AI memberikan saran berbahaya, seperti instruksi yang bisa membahayakan keselamatan fisik mereka.
Seiring dengan itu, laporan dari UNICEF menunjukkan bahwa GenAI berpotensi mengaburkan batas antara makhluk hidup dan tidak hidup, yang dapat memengaruhi perkembangan sosial dan kognitif anak-anak. Para peneliti menekankan pentingnya perlindungan yang lebih ketat terhadap anak-anak yang menggunakan platform ini guna menghindari konten yang tidak sesuai dan berpotensi berbahaya.
Demi mencegah dampak negatif lebih lanjut, sangat diperlukan kebijakan dan langkah-langkah yang proaktif dari pengembang teknologi untuk melindungi anak-anak saat mereka berinteraksi dengan AI.