Golovinamari.com – Tiongkok menolak proposal Presiden Donald Trump mengenai perundingan pengendalian senjata nuklir, menyebutnya sebagai ide yang tidak realistis. Meskipun memiliki sekitar 600 hulu ledak nuklir, jumlah ini lebih rendah dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Rusia, yang masing-masing memiliki 3.700 dan 4.300 hulu ledak, menurut Stockholm International Peace Research Institute.
Setelah 2020, Tiongkok mengalami percepatan dalam perluasan dan modernisasi arsenal nuklirnya. Hal ini menjadi tantangan bagi upaya global dalam mencegah perlombaan senjata yang baru muncul, serta menciptakan ketegangan dalam hubungan antara Beijing dan Washington. Dalam beberapa tahun terakhir, Beijing telah memperluas dan meningkatkan fasilitas pengujian nuklirnya, termasuk mempersiapkan lokasi-lokasi yang dapat digunakan untuk uji coba yang sulit terdeteksi.
Pergeseran strategi ini mulai terlihat pada 2021, ketika analisis terhadap pembangunan silo-silo rudal di wilayah barat laut Tiongkok menunjukkan bahwa negara tersebut berusaha meningkatkan kemampuan peluncuran hulu ledak nuklir. Hidup di bawah ancaman militer, Tiongkok kini mengembangkan berbagai metode peluncuran, termasuk dari silo, pesawat pengebom, dan kapal selam. Hal ini mencerminkan ambisi Tiongkok untuk membangun triad nuklir secara menyeluruh.
Kendati Beijing tetap menyatakan komitmennya untuk tidak menggunakan senjata nuklir kecuali diserang terlebih dahulu, kebijakan ini tampaknya sedang berubah. Xi Jinping menyerukan peningkatan kapasitas militer Tiongkok, mengindikasikan perlunya penyeimbang strategis yang lebih kuat. Menurut Intelijen AS, Tiongkok diperkirakan siap untuk menghadapi kemungkinan konflik mengenai Taiwan dalam waktu dekat.
Meskipun ada upaya dari berbagai pihak, baik pemerintahan Trump maupun Biden untuk mendorong perundingan pengendalian senjata, posisi Tiongkok tetap tegas, meminta persamaan dalam hal pengurangan hulu ledak nuklir antara mereka dengan AS dan Rusia.