Golovinamari.com – Nahdlatul Ulama (NU) saat ini tengah menghadapi situasi yang sensitif, menyusul munculnya polemik antara Rais Aam dan Ketua Umum PBNU. Kisruh ini tidak hanya menciptakan keresahan di kalangan elite organisasi, tetapi juga kebingungan di antara anggota, yang mempertanyakan mengapa perbedaan pendapat yang biasanya diselesaikan melalui musyawarah kini mengemuka di ruang publik. Untuk memahami fenomena ini dengan lebih jelas, NU sepatutnya dipahami sebagai komunitas terbayang, seperti yang dikemukakan oleh Benedict Anderson, yang kini sedang diperebutkan oleh dua rezim representasi.
Pertama, ada rezim representasi tradisional yang berfokus pada otoritas kiai, di mana NU dipandang tidak hanya sebagai organisasi modern, melainkan sebagai komunitas keagamaan yang berakar pada legitimasi spiritual. Di sisi lain, rezim kedua muncul dari pengalaman NU dalam mengelola lembaga besar dan berinteraksi dengan negara, yang memandang NU sebagai institusi modern yang memerlukan transparansi dan efektivitas.
Ketegangan antara kedua rezim ini kian memuncak, di mana masing-masing merasa berhak mendefinisikan identitas dan masa depan NU. Pola pikir yang berbeda ini menciptakan situasi di mana tindakan satu pihak dapat dianggap sebagai pelanggaran oleh pihak lain. Dalam konteks ini, NU telah menjadi arena persaingan narasi sah tentang identitas dan batasan organisasi.
Perubahan lanskap informasi juga memperburuk situasi. Informasi kini dapat menyebar dengan cepat, mengakibatkan disorientasi di kalangan anggota NU. Di tengah dinamika ini, penting bagi NU untuk menata ulang cara mendefinisikan dirinya, dengan meremajakan forum musyawarah dan memperjelas hubungan antara syuriyah dan tanfidziyah. Hanya dengan memperkuat komunikasi dan melibatkan seluruh anggota, NU dapat menjelajahi jalan ke depan dengan keutuhan dan ketenangan.