Golovinamari.com – Pemotongan tunjangan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dinilai tidak cukup untuk mengatasi persoalan ketenagakerjaan di Indonesia. Mirah Sumirat, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi), menyatakan hal ini dalam pernyataannya pada hari Minggu (7/9). Ia mengungkapkan bahwa DPR dan pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memperbaiki kondisi ketenagakerjaan yang saat ini terguncang, terutama di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Mirah memperingatkan bahwa jika tidak ada langkah nyata untuk memperbaiki regulasi yang ada, gelombang PHK massal berpotensi berlanjut hingga tahun 2026. Ia menekankan bahwa masalah ini muncul dari kebijakan upah murah yang sudah berlangsung lama, diperburuk oleh berlakunya Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja pada tahun 2020, yang memudahkan proses PHK dan menekan upah pekerja.
Majelis Konstitusi sebelumnya mengeluarkan keputusan yang meminta pemerintah dan DPR untuk menyusun undang-undang ketenagakerjaan yang baru, namun hingga sekarang belum ada aksi yang konkret untuk hal tersebut. Mirah menegaskan, selagi undang-undang baru belum diterapkan, ancaman PHK massal akan terus menghantui pekerja.
Lebih jauh, ia menyerukan pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo untuk segera mengganti regulasi ketenagakerjaan dengan peraturan yang lebih adil bagi pekerja. Dalam jangka pendek, upaya Pemerintah dalam menurunkan harga kebutuhan pokok dan memberikan subsidi untuk keperluan dasar seperti listrik dan pendidikan juga dianggap mendesak.
Mirah juga menyoroti risiko terhadap industri lokal akibat kebijakan impor yang longgar. Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah nyata, dampak dari krisis ketenagakerjaan ini tidak hanya akan mempengaruhi buruh, tetapi juga stabilitas ekonomi nasional secara keseluruhan.